Website Suster SCMM Maria Berbelas Kasih - Provinsi Indonesia

TRI HARI SUCI DIMULAI KAMIS PUTIH

 

PERJAMUAN MALAM TERAKHIR

PEMBASUHAN KAKI SALAH SATU MURID YESUS YAKNI PETRUS (Yohanes 13:1-20)

Salah satu Lukisan yang berkesan religius dan saya terkesima memandang lukisan ini untuk saya jadikan dalam permenungan saya dimasa tri hari suci masa tridium .


Tak diragukan lagi bahwa salah seorang seniman religius paling terkenal di Jerman dan pada zaman sekarang.

Karya seninya menyingkapkan kekuatan batin dan dibutuhkan keheningan dan rasa kontemplatif meditatif dan pengabdian mendalam. Pelukis sendiri mendefinisikan karya seninya: cermin dan lambang dari pengalaman hidup nyata saya dan kita semuanya manusia.

 

Saya terinspirasi bahwa pada malam sengsaraNya Yesus bangkit berdiri dan membasuh kaki para muridNya. Lukisan ini menghadirkan pada saya dan kita semuanya bahwa figur Yesus dan Petrus salah satu muridnya akan dibasuh kakinya yang saling membungkuk dalam satu ke arah yang lain.

Yesus berlutut, hampir-hampir bersujud di hadapan Petrus dalam satu posisi di mana wajahNya sekalipun tak tampak  Rupa-rupanya Yesus memanifestasikan satu-satunya sikap pelayanan bagi orang yang ada di depanNya. Mari kita fokus pada pelayanan tidak melihat besar atau kecilnya pelayanan kita pada sesama.

Kembali pada lukisan itu. Hanya pelayanan, tak ada yang lain!

WajahNya tercermin di permukaan air, di atas kaki Petrus. Perhatikan bersama wajahNya, Petrus membungkuk ke arah Yesus. Pada Lukisan itu tangan kirinya mengungkapkan penolakan: “Tuhan, Engkau hendak membasuh kakiku?”

Kebalikan dengan posisi tangan kirinya, tangan kanan dan kepala Petrus seolah bersandar dengan seluruh bebannya pada bahu Yesus. Petrus tidak memandang Sang Guru. Ia bahkan tak mampu memandang pula wajahNya yang tampak dalam baskom. Ada wajah dalam baskom pantulan air artinya penuh ketulusan hati pengorbanan yang integritas dan berbelaskasih tanpa pamrih, rendah hati dan kesederhanan. Bagaimana mungkin Sang Guru Tuhanku mencuci kaki saya ..., kelihatan Petrus kaget pada lukisan itu. Dalam Injil Yohanes, Yesus menjawab pertanyaan Petrus yang penuh keengganan (Jawa: pekewuh): “Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak.” Dalam permenungan saya pada lukisan ini dalam doa dan kontemplatif saya saat Tri hari Suci ini, perlunya keteladanan hidup yang penuh Kasih.  

Yesus meminta teladan hidup bahwa Allah adalah Kasih dan Berbelaskasih, perbuatan kasih kita pada sesama contoh sederhana memberi nilai atau cap keburukan orang lain ada seumur hidupnya seolah olah kita yang paling sempurna dalam hidup ini maka segampang itu memberi cap pada sesama ( tidak ada pemberian diri untuk sesama = tidak ada Tuhan dalam sesama, ‘ seharusnya ada pemberian diri untuk sesama dan kutemukan Tuhan dalam Sesama  nanti ’Jumat Agung’ ).  

 

Pada dasarnya waktu akan ada mengalami perubahan apalagi manusia akan menjadi baik sama seperti siswa dikelas tidak selamanya dia lambat menerima pelajaran dan nilai rendah suatu saat dia akan berhasil, saya seorang guru dan mendengarkan bahwa siswa saya itu berhasil memang dia akhirnya diterima di perguruan tinggi terkenal, siapa yang menyangka itu terjadi adanya perubahan pada diri setiap pribadi manusia yang harusnya kita hargai dan memberi kesempatan untuknya tanpa memberi cap seumur hidupnya.  

 

Kembali pada lukisan Sieger Koder di atas Petrus memahami saat itu, bahwa tugasnya nanti adalah mengulang kembali ungkapan yang sama dengan Yesus, tak hanya pada dirinya sendiri, tetapi juga bagi setiap saudara, bagi tubuh Kristus, GerejaNya.

Di belakang pribadi-pribadi ini, kita saksikan di atas meja satu piala dengan anggur dan sebuah piring dengan roti terpecah-pecah, unsur-unsur yang tidak berhubungan di latar belakang, namun cukup dekat 

 

Kata-kata inilah yang terpantul dalam gambar. Di sini bukan “pemahaman” yang perlu, yang penting adalah “perjumpaan,” menerima suatu pengalaman perjumpaan.

Tubuh Petrus adalah sosok yang tengah menghidupi suatu proses perjumpaan yang melibatkan seluruh kepribadiannya dari kepala sampai kaki. Tubuhnya menyingkapkan satu sosok pribadi yang  butuh dibasuh, dan pada saat yang sama menyingkapkan martabatnya. Petrus mengatakan saya memang membutuhkan Yesus untuk membasuh kaki saya, saya pantas untuk dibasuh olehNya.

Bukanlah wajah Yesus yang menjadi pusat dari lukisan, tetapi wajah Petrus.

Di sanalah, di atas wajahnya yang tertimpa cahaya, tercermin tanda dari martabat yang ditemukan kembali.

Pandangan Petrus terarah langsung pada kaki Yesus.

Kaki-kaki ini tak karuan bentuknya, bila dipandang dari mereka yang menatap gambar. Dari tatapan Petrus kita dibimbing pada kaki-kaki ini dan bersama dengannya menyadari bahwa dalam pengalaman yang sedang dihidupi, terintuisikan satu panggilan untuk pelayanan. “Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.” pada peristiwanya yang tengah berlangsung pada pusat lukisan tersebut.

Cahaya yang memancar dari pakaian Yesus tercermin juga di sudut-sudut taplak meja. Ada pula bayangan dua pribadi yang berangkulan sebagai tanda Ekaristi. Maksudnya tak lain adalah suatu perjumpaan yang unik yakni hidup panggilan kita ada terang yang sama menyinari roti dan anggur, tangan dan kaki sang murid dan Sang guru. Itulah terang kesetiaan Allah pada perjanjianNya. Terang dari sikap penyerahan Yesus dalam tangan Bapa, terang keselamatan. 

Sang seniman high art seni yang tinggi pelukis ini  menggunakan banyak warna biru sebagai warna transendensi.

Karpet biru kontras dengan warna cokelat, warna tanah, yang mendominasi gambar.

Karpet biru menunjukkan bahwa langit kini di temukan di tanah. Di sanalah dihayati pemberian diri untuk sesama, legowo.

Lukisan ini mengungkapkan pada kita dan saya juga: jika kita orang kristiani sedang mencari wajah Yesus, kita harus membiarkan diri dibimbing pada kaki-kaki orang lain yang berbelaskasih, melibatkan diri kita dalam suatu pelayanan yang menyingkapkan kembali martabat, yang memeluk kebutuhan orang-orang lain dalam bentuk sekecil apapun sesederhana mungkin, bukan karena profesi, jabatan kedudukan tanpa ada nilai hospitality.

Tapi bagaimana menghidupi pelayanan ini tanpa menyinggung perasaan orang lain, tanpa membiarkan kaki-kaki kita pula dibasuh oleh tangan-tangan sahabat, tanpa mengakui kebutuhan kita? Di sana, ketika dua tubuh bertemu saling membungkuk untuk memberi dan menerima kelebihan dan kekurangan sesama kita tanpa mengucilkannya tampak dan nyata setiap hari kita rayakan bersama terbangun tubuh Kristus dan mulai dipahami bahwa demikianlah makna Perayaan Ekaristi Tubuh dan darah Kristus sebagai satu tujuan esensial yang terpenting  hidup rohani kita perjumpaan pada Yesus Kristus, kulihat Yesus dalam diri sesamaku, *lihat tulisan jumat agung kulihat Yesus dalam sesamaku.

Mari kita melayani sesama dalam hal sekecil apapun senyuman dan sapaan sungguh sangat berarti.  

Di sana, ketika dua tubuh bertemu saling membungkuk untuk memberi dan menerima kelebihan dan kekurangan sesama kita tanpa mengucilkannya tampak dan nyata setiap hari kita rayakan bersama terbangun tubuh Kristus dan mulai dipahami bahwa demikianlah makna Perayaan Ekaristi Tubuh dan darah Kristus sebagai satu tujuan esensial yang terpenting  hidup rohani kita perjumpaan pada Yesus Kristus, kulihat Yesus dalam diri sesamaku, *lihat tulisan jumat agung kulihat Yesus dalam sesamaku.

Mari kita melayani sesama dalam hal sekecil apapun senyuman dan sapaan sungguh sangat berarti. 

  ~Sr. Elizia Simanjuntak, SCMM~


 

Share this post :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015-2020. SCMM Provinsi Indonesia - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger - Posting